Ratu Mary I: Kisah Tragis Penguasa Inggris

by Jhon Lennon 43 views

Apa kabar, guys! Hari ini kita bakal ngobrolin salah satu sosok paling kontroversial dalam sejarah Inggris: Ratu Mary I, atau yang lebih dikenal sebagai 'Bloody Mary'. Gimana nggak, dia adalah ratu Inggris dan Irlandia yang memerintah dari tahun 1553 sampai kematiannya di tahun 1558. Namanya mungkin bikin merinding, tapi di balik julukan itu ada cerita yang jauh lebih kompleks dan tragis, lho. Yuk, kita selami lebih dalam kisah hidupnya, dari masa muda yang penuh gejolak sampai masa pemerintahannya yang penuh drama.

Masa Muda dan Warisan yang Berat

Masa muda Mary adalah cerminan dari ketidakpastian politik dan agama di zamannya. Lahir pada tahun 1516, dia adalah putri dari Raja Henry VIII dan Catherine dari Aragon. Bayangin aja, guys, di awal hidupnya, Mary adalah pewaris takhta yang sah. Tapi, semua berubah drastis ketika ayahnya, Henry VIII, memutuskan untuk menceraikan ibunya demi menikahi Anne Boleyn. Peristiwa ini nggak cuma bikin ibunya menderita, tapi juga membuat Mary terbuang dari garis suksesi dan dipaksa untuk mengakui ibunya sebagai 'putri haram'. Ini pasti berat banget buat dia, guys. Dia harus tumbuh besar dengan rasa sakit hati dan ketidakadilan.

Selain itu, agama juga jadi faktor besar dalam hidup Mary. Ibunya, Catherine, adalah seorang Katolik yang taat. Sejak kecil, Mary dididik dalam iman Katolik. Ketika ayahnya memisahkan diri dari Gereja Katolik Roma dan mendirikan Gereja Anglikan, Mary tetap teguh pada keyakinan Katoliknya. Ini jadi perbedaan besar antara dia dan ayahnya, bahkan saudarinya, Elizabeth, yang lebih condong ke Protestan. Perbedaan keyakinan ini bukan cuma masalah pribadi, tapi juga punya implikasi politik yang besar di masa itu. Bayangin aja, guys, di era di mana agama bisa menentukan nasib suatu negara, menjadi penganut Katolik di Inggris yang mulai bergeser ke Protestan itu ibarat berjalan di atas bara api. Dia harus selalu waspada dan berhati-hati dalam setiap langkahnya. Bahkan, di masa pemerintahan Edward VI, saudaranya yang Protestan, Mary sempat terancam keselamatannya karena keyakinan agamanya.

Warisan dari kedua orang tuanya, baik sebagai putri seorang raja yang kuat maupun sebagai penganut Katolik yang teguh, membentuk Mary menjadi pribadi yang tangguh namun juga rentan. Dia menyaksikan langsung bagaimana perebutan kekuasaan dan perbedaan agama bisa menghancurkan sebuah keluarga kerajaan. Pengalaman-pengalaman pahit ini nggak diragukan lagi membentuk pandangannya tentang dunia dan bagaimana dia seharusnya memerintah kelak. Dia belajar untuk bertahan, untuk memegang teguh keyakinannya, dan mungkin, untuk membalas ketidakadilan yang pernah menimpanya. Semuanya ini jadi latar belakang yang kuat kenapa dia bertindak seperti yang dia lakukan saat menjadi ratu nanti. Jadi, sebelum kita menghakimi 'Bloody Mary', penting banget buat kita ngerti dulu apa aja yang udah dia lalui. Kisah hidupnya itu penuh lika-liku, guys, dan nggak sesederhana yang sering digambarkan.

Naik Takhta dan Upaya Restorasi Katolik

Setelah kematian saudaranya, Edward VI, Inggris kembali diguncang ketidakpastian. Ada upaya untuk menempatkan Lady Jane Grey di takhta, tapi rakyat lebih menginginkan Mary sebagai pewaris yang sah. Akhirnya, pada 20 Juli 1553, Mary dimahkotai sebagai Ratu Inggris dan Irlandia. Ini adalah momen yang ditunggu-tunggu oleh para penganut Katolik di Inggris. Bagi Mary, ini bukan cuma soal kekuasaan, tapi juga kesempatan untuk mengembalikan Inggris ke pelukan Gereja Katolik Roma, agama yang dia cintai dan yakini sepenuh hati. Dia melihat ini sebagai panggilan ilahi, sebuah misi suci untuk memperbaiki apa yang dia anggap telah rusak oleh reformasi agama ayahnya dan saudaranya.

Begitu naik takhta, Mary langsung bergerak cepat. Salah satu tindakan pertamanya adalah membatalkan undang-undang keagamaan yang dibuat oleh ayahnya dan saudaranya, yang memisahkan Inggris dari Roma. Dia ingin mengembalikan misa Katolik, biarawan dan biarawati kembali ke biara, dan Inggris kembali tunduk pada otoritas Paus. Langkah ini disambut dengan suka cita oleh sebagian umat Katolik, tapi tentu saja menimbulkan keresahan di kalangan umat Protestan yang kini merasa terancam. Mary yakin bahwa dia sedang melakukan hal yang benar untuk menyelamatkan jiwa rakyatnya dari 'kesesatan' Protestan. Dia percaya bahwa hanya melalui Gereja Katolik, Inggris bisa mencapai keselamatan spiritual.

Namun, upaya restorasi Katolik ini nggak berjalan mulus. Banyak rakyat Inggris yang sudah terbiasa dengan Gereja Anglikan dan nggak mau kembali ke masa lalu. Selain itu, para bangsawan yang sudah mendapatkan keuntungan dari pembubaran biara oleh Henry VIII tentu saja menentang keras kembalinya kekuasaan Gereja. Ada beberapa pemberontakan yang terjadi, yang paling terkenal adalah Pemberontakan Wyatt. Pemberontakan ini, yang dipimpin oleh Sir Thomas Wyatt, bertujuan untuk menggulingkan Mary dan menggantinya dengan Elizabeth, yang dianggap lebih moderat dalam urusan agama. Mary dengan tegas menumpas pemberontakan ini, dan sayangnya, banyak orang yang terlibat dihukum mati, termasuk Lady Jane Grey dan suaminya. Ini adalah awal dari reputasinya yang mengerikan.

Selama masa pemerintahannya, Mary juga berusaha keras untuk memulihkan hubungan Inggris dengan negara-negara Katolik lainnya, terutama Spanyol. Pernikahannya dengan Pangeran Philip dari Spanyol (yang kemudian menjadi Raja Philip II) adalah bagian dari strategi ini. Pernikahan ini sangat tidak populer di kalangan rakyat Inggris. Mereka takut Inggris akan dikuasai oleh Spanyol dan Gereja Katolik akan semakin berkuasa. Meskipun Philip adalah suaminya, Mary nggak pernah benar-benar punya kekuasaan penuh atas urusan luar negeri Inggris. Dia seringkali merasa kesepian dan terisolasi, terutama karena dia nggak punya anak. Keinginannya untuk memiliki ahli waris yang Katolik nggak pernah terwujud. Kegagalan ini menambah beban psikologisnya dan mungkin memengaruhi keputusannya dalam menindak para penentang agamanya.

Upaya Mary untuk mengembalikan Katolik ke Inggris memang ambisius, tapi juga penuh tantangan. Dia berhadapan dengan perlawanan yang kuat dari berbagai pihak dan harus membuat keputusan-keputusan sulit yang akhirnya membentuk citranya di mata sejarah. Semuanya itu jadi bukti betapa rumitnya situasi politik dan agama di Inggris pada abad ke-16, guys. Keputusannya untuk memulihkan Katolik adalah cerminan dari keyakinan pribadinya yang mendalam, tapi juga membawa konsekuensi yang sangat besar bagi dirinya dan kerajaannya.

Reputasi 'Bloody Mary' dan Penganiayaan

Nah, ini dia bagian yang bikin nama Ratu Mary I jadi melegenda, tapi dengan cara yang bikin bulu kuduk berdiri. Julukan 'Bloody Mary' atau Mary Si Berdarah muncul karena kebijakannya yang keras terhadap kaum Protestan. Guys, di zamannya, perbedaan agama itu bukan cuma masalah keyakinan, tapi juga masalah kesetiaan politik. Bagi Mary, kaum Protestan dianggap sebagai ancaman terhadap stabilitas kerajaan dan kesatuan agama di Inggris. Dia melihat dirinya punya tugas suci untuk membersihkan kerajaannya dari apa yang dia anggap sebagai ajaran sesat.

Dimulai dari tahun 1555, penganiayaan terhadap kaum Protestan mulai meningkat. Ratusan orang, termasuk para pendeta dan tokoh terkemuka Protestan, diadili atas tuduhan bid'ah. Sebagian besar dari mereka diadili di bawah undang-undang bid'ah yang dihidupkan kembali oleh Mary. Hasilnya? Tragis. Sekitar 300 orang dibakar hidup-hidup di tiang pancang. Beberapa di antaranya adalah tokoh-tokoh penting seperti Uskup Thomas Cranmer (yang pernah meresmikan pernikahan Henry VIII dengan Anne Boleyn, lho!), Uskup Hugh Latimer, dan Uskup Nicholas Ridley. Pembakaran ini dilakukan di depan umum, sebagai peringatan bagi siapa saja yang berani menentang otoritas Katolik dan kerajaan.

Kenapa sih Mary begitu kejam? Ini pertanyaan yang sering banget muncul. Para sejarawan punya pandangan yang beda-beda. Ada yang bilang Mary bertindak berdasarkan keyakinan agamanya yang fanatik. Dia benar-benar percaya bahwa dia sedang menyelamatkan jiwa-jiwa dari neraka dengan membakar mereka di dunia. Ada juga yang berpendapat bahwa tindakan ini lebih bersifat politis. Dengan menyingkirkan para pemimpin Protestan, dia berusaha mengkonsolidasikan kekuasaannya dan mencegah pemberontakan lebih lanjut. Ingat, guys, dia naik takhta setelah masa-masa yang penuh gejolak dan nggak mau sejarah terulang lagi.

Selain itu, perlu diingat juga konteks zamannya. Penganiayaan terhadap kaum yang dianggap 'sesat' itu bukan hal yang aneh di Eropa pada abad ke-16. Banyak negara lain juga melakukan hal serupa. Namun, skala dan kekerasan penganiayaan di bawah Mary memang sangat menonjol, terutama karena dia adalah seorang ratu. Ini yang kemudian membedakan dan menodai ingatannya di sejarah.

Citra 'Bloody Mary' ini terus melekat dan bahkan melampaui masa pemerintahannya. Para penulis dan sejarawan Protestan, terutama setelah era Elizabeth I, berperan besar dalam membentuk narasi ini. Mereka ingin menunjukkan betapa berbahayanya kekuasaan Katolik dan betapa pentingnya pemerintahan Elizabeth yang lebih toleran. Jadi, meskipun ada alasan di balik tindakan Mary, cara dia diingat oleh dunia sebagian besar dibentuk oleh propaganda dan narasi pasca-pemerintahannya.

Penganiayaan ini memang jadi bagian paling gelap dari masa pemerintahan Mary. Tapi, kalau kita lihat lebih luas, masa pemerintahannya juga diwarnai dengan upaya-upaya lain, baik dalam urusan agama maupun politik. Namun, nggak bisa dipungkiri, bayangan 300 orang yang dibakar hidup-hidup itu jadi hal yang paling dominan ketika kita membicarakan Ratu Mary I. Ini jadi pengingat bahwa di balik gelar 'Ratu', ada manusia dengan keyakinan kuat, ketakutan, dan keputusan-keputusan yang punya dampak besar pada kehidupan banyak orang.

Akhir yang Tragis dan Warisan yang Kompleks

Sayangnya, masa pemerintahan Ratu Mary I nggak bertahan lama dan berakhir dengan cara yang tragis. Setelah lima tahun yang penuh gejolak, Mary meninggal pada usia 42 tahun pada tanggal 17 November 1558. Penyebab kematiannya nggak sepenuhnya jelas, tapi banyak yang percaya dia meninggal karena kanker ovarium atau rahim. Yang lebih memilukan, di akhir hidupnya, Mary sangat menderita karena dia nggak punya anak. Dia sangat berharap punya pewaris yang bisa melanjutkan warisan Katoliknya, tapi harapan itu nggak pernah terwujud. Kegagalan ini pasti jadi pukulan berat baginya, guys, menambah kesedihan di akhir hayatnya.

Dengan kematiannya, takhta Inggris jatuh ke tangan adiknya, Elizabeth I, yang notabene adalah seorang Protestan. Ini berarti upaya Mary untuk mengembalikan Inggris ke agama Katolik secara permanen nggak berhasil. Elizabeth segera membatalkan kebijakan-kebijakan keagamaan Mary dan mengukuhkan Gereja Anglikan sebagai agama negara. Jadi, semua pengorbanan dan penderitaan yang dialami Mary, termasuk penganiayaan terhadap kaum Protestan, pada akhirnya nggak mencapai tujuan utamanya.

Warisan Mary I itu sangat kompleks dan kontroversial. Di satu sisi, dia dikenang sebagai 'Bloody Mary', sosok ratu kejam yang haus darah karena penganiayaan terhadap kaum Protestan. Julukan ini, seperti yang kita bahas tadi, dibentuk oleh narasi sejarah yang seringkali bias dan dipengaruhi oleh kepentingan politik pasca-kematiannya. Penggambaran ini seringkali mengabaikan konteks zamannya, tekanan politik yang dihadapinya, dan keyakinan agamanya yang mendalam.

Namun, di sisi lain, ada juga yang melihat Mary sebagai penguasa yang berani memegang teguh keyakinannya di masa-masa sulit. Dia adalah wanita pertama yang memerintah Inggris sebagai ratu jure uxoris (berdasarkan haknya sendiri, bukan sebagai ratu pendamping) dan dia berjuang untuk apa yang dia yakini benar. Upayanya untuk memulihkan Katolik, meskipun gagal dan menimbulkan banyak korban, menunjukkan dedikasinya yang kuat pada agamanya. Beberapa sejarawan modern mencoba memberikan pandangan yang lebih seimbang, mengakui sisi tragis dan kesulitannya, serta dampak dari kebijakan-kebijekannya tanpa langsung menghakimi.

Kisah Mary I jadi pengingat penting buat kita, guys, bahwa sejarah itu nggak hitam putih. Ada banyak nuansa, ada banyak cerita di balik nama-nama besar. Dia adalah sosok yang lahir dari ketidakpastian, berjuang di tengah badai perbedaan agama dan politik, dan akhirnya dikenang dengan cara yang menyakitkan. Warisannya mengajarkan kita tentang bahaya fanatisme, tapi juga tentang keberanian seorang individu yang memegang teguh keyakinannya, meskipun harus dibayar mahal. Jadi, ketika kita mendengar nama 'Bloody Mary', mari kita coba melihat lebih dari sekadar julukan mengerikan itu dan memahami kompleksitas hidup seorang ratu yang kisah cintanya pada agama dan negaranya berakhir dengan air mata dan darah.

Pada akhirnya, Ratu Mary I adalah salah satu figur paling menarik dan tragis dalam sejarah Inggris. Kisahnya mengajarkan kita banyak hal tentang kekuasaan, agama, dan bagaimana ingatan sejarah bisa dibentuk. Semoga obrolan kita kali ini bikin kalian punya pandangan yang lebih luas tentang sosok 'Bloody Mary' ini ya, guys!